Lydia Rosiana Agustinus
SIR201126
I. Pengertian Etika Profesi Teknologi
Informasi
Pengertian Etika, Moral dan Profesi. Kata etika berasal
dari bahasa Yunani, ethos atau ta etha yang berarti tempat tinggal, padang
rumput, kebiasaan atau adat istiadat. Oleh filsuf Yunani, Aristoteles, etika
digunakan untuk menunjukkan filsafat moral yang menjelaskan fakta moral tentang
nilai dan norma moral, perintah, tindakan kebajikan dan suara hati. Kata yang
agak dekat dengan pengertian etika adalah moral. Kata moral berasal dari bahasa
Latin yaitu mos atau mores yang berarti adat istiadat, kebiasaan, kelakuan,
tabiat, watak, akhlak dan cara hidup. Secara etimologi, kata etika (bahasa
Yunani) sama dengan arti kata moral (bahasa Latin), yaitu adat istiadat
mengenai baik-buruk suatu perbuatan. Namun demikian moral tidak sama dengan
etika. Kata moral lebih mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia,
menuntun manusia bagaimana seharusnya ia hidup atau apa yang boleh dan apa yang
tidak boleh dilakukan. Sedangkan etika adalah ilmu, yakni pemikiran rasional,
kritis dan sistematis tentang ajaran-ajaran moral. Etika menuntun seseorang
untuk memahami mengapa atau atas dasar apa ia harus mengikuti ajaran moral
tertentu. Dalam artian ini, etika dapat disebut filsafat moral. Yang dimaksud
etika profesi adalah norma-norma, syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang
harus dipenuhi oleh sekelompok orang yang disebut kalangan profesional. Lalu
siapakah yang disebut profesional itu? Orang yang menyandang suatu profesi
tertentu disebut seorang profesional. Selanjutnya Oemar Seno Adji mengatakan
bahwa peraturan-peraturan mengenai profesi pada umumnya mengatur hak-hak yang
fundamental dan mempunyai peraturan-peraturan mengenai tingkah laku atau
perbuatan dalam melaksanakan profesinya yang dalam banyak hal disalurkan
melalui kode etik.
Sedangkan yang dimaksud dengan profesi adalah suatu moral
community (masyarakat moral) yang memiliki cita-cita dan nilai bersama. Mereka
membentuk suatu profesi yang disatukan karena latar belakang pendidikan yang
sama dan bersama-sama memiliki keahlian yang tertutup bagi orang lain.
II. Masalah Etika Profesi Teknologi Informasi
di Indonesia
Selama ini kalau kita berbicara tentang muamalah,
terutama ekonomi, kita akan berbicara tentang apa yang boleh dan apa yang tidak
boleh. Hal ini memang merupakan prinsip dasar dari muamalah itu sendiri, yang
menyatakan, Perhatikan apa yang dilarang, diluar itu maka boleh dikerjakan.
Tetapi pertanyaan kemudian mengemuka, seperti apakahekonomi dalam sudut pandang
Islam itu sendiri? Bagaimana filosofi dan kerangkanya? Dan bagaimanakah ekonomi
Islam yang ideal itu?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka
sebenarnya kita perlu melihat bagaimanakah metodologi dari ekonomi Islam itu
sendiri. Muhammad Anas Zarqa, menjelaskan bahwa ekonomi Islam itu terdiri dari
3 kerangka metodologi.
Pertama adalah presumptions and ideas, atau yang disebut
dengan ide dan prinsip dasar dari ekonomi Islam. Ide ini bersumber dari Al
Qur?an, Sunnah, dan Fiqih Al Maqasid. Ide ini nantinya harus dapat diturunkan
menjadi pendekatan yang ilmiah dalam membangun kerangka berpikir dariekonomi
Islam itu sendiri.
Kedua adalah nature of value judgement, atau pendekatan
nilai dalam Islam terhadap kondisi ekonomi yang terjadi. Pendekatan ini
berkaitan dengan konsep utilitas dalam Islam.
Terakhir, yang disebut dengan positive part of economics
science. Bagian ini menjelaskan tentang realita ekonomi dan bagaimana konsep
Islam bisa diturunkan dalam kondisi nyata dan riil. Melalui tiga pendekatan
metodologi tersebut, maka ekonomi Islam dibangun.
Ahli ekonomi Islam lainnya, Masudul Alam Choudhury,
menjelaskan bahwa pendekatan ekonomi Islam itu perlu menggunakan shuratic
process, atau pendekatan syura. Syura itu bukan demokrasi. Shuratic process
adalah metodologi individual digantikan oleh sebuah konsensus para ahli dan
pelaku pasar dalam menciptakan keseimbangan ekonomi dan perilaku pasar.
Individualisme yang merupakan ide dasar ekonomi konvensional tidak dapat lagi
bertahan, karena tidak mengindahkan adanya distribusi yang tepat, sehingga
terciptalah sebuah jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin. Pertanyaan
kemudian muncul, apakah konsep Islam dalamekonomi bisa diterapkan di suatu
negara, misalnya di negara kita? Memang baru-baru ini muncul ide untuk
menciptakan dual economic system di negara kita, dimanaekonomi konvensional
diterapkan bersamaan dengan ekonomi Islam. Tapi mungkinkah Islam bisa
diterapkan dalam kondisi ekonomi yang nyata? Sebelum menjawab pertanyaan
tersebut, Umar Chapra menjelaskan bahwa terdapat dua aliran dalam ekonomi,
yaitu aliran normatif dan positif. Aliran normatif itu selalu memandang sesuatu
permasalahan dari yang seharusnya terjadi, sehingga terkesan idealis dan
perfeksionis. Sedangkan aliran positif memandang permasalahan dari realita dan
fakta yang terjadi. Aliran positif ini pun kemudian menghasilkan perilaku
manusia yang rasional. Perilaku yang selalu melihat masalahekonomi dari sudut
pandang rasio dan nalarnya. Kedua aliran ini merupakan ekstrim diantara dua
kutub yang berbeda.
Lalu apa hubungannya kedua aliran tersebut dengan
pelaksanaan ekonomi Islam? Ternyata hubungannya adalah akan selalu ada
orang-orang yang mempunyai pikiran dan ide yang bersumber dari dua aliran
tersebut. Jadi atau tidak jadiekonomi Islam akan diterapkan, akan ada yang
menentang dan mendukungnya. Oleh karena itu sebagai orang yang optimis, maka
penulis akan menyatakan ?Ya?, Islam dapat diterapkan dalam sebuah
sistemekonomi. Tetapi optimisme ini akan dapat terwujud manakala etika dan
perilaku pasar sudah berubah. Dalam Islam etika berperan penting dalam
menciptakan utilitas atau kepuasan. Konsep Islam menyatakan bahwa kepuasan
optimal akan tercipta manakala pihak lain sudah mencapai kepuasan atau hasil
optimal yang diinginkan, yang juga diikuti dengan kepuasan yang dialami oleh
kita. Islam sebenarnya memandang penting adanya distribusi, kemudian lahirlah
zakat sebagai bentuk dari distribusi itu sendiri.
Maka, sesungguhnya kerangka dasar dari ekonomi Islam
didasari oleh tiga metodolodi dari Muhammad Anas Zarqa, yang kemudian
dikombinasikan dengan efektivitas distribusi zakat serta penerapan konsep
shuratic
process (konsensus bersama) dalam setiap pelaksanaannya.
Dari kerangka tersebut, insyaAllah ekonomi Islam dapat diterapkan dalam
kehidupan nyata.
Dan semua itu harus dibungkus oleh etika dari para
pelakunya serta peningkatan kualitas sumber daya manusianya. Utilitas yang
optimal akan lahir manakala distribusi dan adanya etika yang menjadi acuan
dalam berperilakuekonomi . Oleh karena itu semangat untuk memiliki etika dan
perilaku yang ihsan kini harus dikampanyekan kepada seluruh sumber daya insani
dariekonomi Islam. Agar ekonomi Islam dapat benar-benar diterapkan dalam
kehidupan nyata, yang akan menciptakan keadilan sosial, kemandirian, dan
kesejahteraan masyarakatnya.
III. Pelaksanaan Etika Profesi Teknologi
Informasi di Indonesia
Penghinaan Untuk Wartawan
Jaman sudah berubah. Namun masih banyak wartawan yang
masih konservatif, melarang wartawan lain masuk pos-nya. Sekedar arogan atau
takut kehilangan lahan.
Di akhir masa jabatannya, Pangdam Jaya Mayjen TNI Djadja
Suparman memberikan sumbangan sebanyak 100 juta rupiah kepada wartawan peliput
Kodam Jaya. Djadja berharap, dana tersebut dimanfaatkan untuk membentuk
koperasi wartawan Kodam.
Djadja memberikan dana tersebut secara simbolis kepada
Koordinator Wartawan Kodam Jaya, Ballian Siregar (Pos Kota), saat silahturahmi
menjelang serah terima jabatan Pangdam. Ballian (Ian) mengaku, bantuan tersebut
tidak akan membuat wartawan di lingkungan Kodam kehilangan sikap kritis.
“Walaupun dikasih 100 juta rupiah,” katanya, wartawan tetap akan independen dan
tidak mau berada di bawah kontrol (terkooptasi) Kodam. Rencananya, lanjut Ian,
dana akan dimanfaatkan untuk mendirikan Wartel dan Warung Sembako.
Pemberian “sumbangan” Pangdam tersebut membuat gerah
sejumlah jurnalis. Pasalnya, masih saja dalam era reformasi seperti ini -dimana
masyarakat sedang getol menginginkan clean government / clean governance,
sekelompok wartawan masih mau menerima bantuan dari lembaga yang nota bene
adalah medan pemberitaan. “Lepas dari ikhlas atau atas permintaan, sudah sepatutnya
sumbangan dari Pangdam itu ditolak. Ini masalah etika moral seorang wartawan.
Apalagi, darimana sih Pangdam dapat uang sebanyak itu? Bukankah Kodam bukan
lembaga yang menghasilan dana?” ujar wartawan sebuah media. Wartawan amplop
seperti ini memang sudah menjadi rahasia umum dalam masa pemerintahan Soeharto.
Dari presiden hingga pak RT telah mengajarkan untuk memberi “imbalan” pada
wartawan yang akan atau telah memberitakan tentang dirinya. Dalam banyak
konperensi pers, betapa hausnya mereka -para wartawan bodrex itu- menunggu
petugas pembagi amplop. Tapi hal itu bukanlah semata kesalahan si “wartawan”.
Sebab organisasi profesi wartawan sendiri (PWI) telah jelas-jelas melegalkan
soal angpauw ini, lewat statemen bosnya, Sofyan Lubis. Walaupun, masih banyak
penerbitan pers (a.l. kelompok Kompas Gramedia dan Tempo) yang dengan eksplisit
melarang keras para wartawannya menerima amplop, untuk menjaga kemandirian.
Keberadaan wartawan amplop ini di jaman Soeharto bahkan
telah dianggap masyarakat sebagai tindakan yang cukup meresahkan. Banyak orang
yang hanya berbekal kartu PWI mendatangi perusahaan atau instansi, pejabat
bahkan perorangan untuk mencari uang. Tidak jarang pula sejumlah wartawan itu
mengorganisir diri bak kelompok gangster yang suka mengkapling wilayah-wilayah
tertentu. Semua kantor departemen punya geng tersendiri.
Ingat kasus wartawan yang sering mangkal di Departemen
Keuangan? Mereka punya lembaga sendiri sebagai partner departemen tersebut
dalam membuat training maupun seminar-seminar. Ceritanya, tahun 1983, Bambang
Wiwoho (Pemimpin Umum Majalah Panji Masyarakat), mendirikan Yayasan Bina
Pembangunan (YBP). Yayasan ini dibentuk untuk mengerjakan proyek Departemen
Keuangan untuk memasyarakatkan Undang-Undang Pajak baru, yang akan berlaku 1
Januari 1984. Kontrak pertama ditandatangani dengan Menteri Keuangan waktu itu,
Radius Prawiro. Proyek yang dikerjakan YBP di mana Wiwoho menjadi ketua
umumnya, adalah melakukan konsultasi dan penyuluhan pajak, konsultan kegiatan
penyiapan tenaga penyuluh dan peningkatan ketrampilan tenaga penyuluh
Direktorat Jendral Pajak, khususnya dalam teknis komunikasi massa, melaksanakan
kegiatan pembangunan citra perpajakan dan evaluasi pelaksanaan kegiatan
penyuluhan. Kalau kita dulu pernah mendengar slogan: “Orang Bijak Taat Pajak”,
“Pembangunan Jalan Ini Bersalah dari Pajak Anda”, itu salah satu proyek YBP.
Nilai kontrak itu cukup besar, rata-rata mencapai Rp3,5 hingga Rp4,5 miliar
setiap tahunnya.
Mungkin, karena menganggap wilayah kerjanya juga sebagai
lahan basahanya itulah tindakan para wartawan yang ngepos di suatu tempat itu
sering tidak berkenan atas kehadiran wartawan lain yang datang ke wilayah
tersebut.
Termasuk pelarangan terhadap sejumlah wartawan yang akan
meliput kegiatan di istana negara. “Wartawan Istana ini mengatakan pada saya
bahwa saya seharusnya mematuhi tata tertib buat meliput di Istana. Ia
mengatakan, sebelum bisa meliput di Istana saya seharusnya lolos litsus
(penelitian khusus) serta screening dari badan intelijen seperti BIA atau BAIS.
Kemudian setelah itu, saya harus menunggu untuk mendapatkan kartu identitas
wartawan Istana berwarna hijau,” kata Ade Wahyudi, wartawan Kantor Berita Radio
68H Jakarta salah satu
wartawan yang ditolak masuk istana oleh Lukman (Surabaya
Post) sebagai
koordinator wartawan Istana. Ini menjadi aneh, sebab dari
sekretariat negara sendiri tidak pernah mengeluarkan larangan. Sebab
sebelumnya, meski tanpa birokrasi yang berbelit Ade sudah beberapa kali
diperbolehkan meliput ke Istana oleh bagian Dokumentasi dan Media Massa Setneg.
Usut punya usut, ternyata para wartawan istana itu lah yang mengancam bagian
dokumentasi dan media massa Setneg untuk melarang wartawan lain yang akan
meliput di istana, selain mereka. Pelarangan ini berlanjut hingga sidang-sidang
kabinet Gus Dur.
Padahal, ketika wartawan Indonesia meliput kegiatan
Presiden Abdurrahman Wahid masuk ke kantor Clinton di Gedung Putih, pihak
Gedung Putih merasa welcome saja tanpa men-screnning apa lagi melakukan litsus
“keterpengaruhan”. Karena mereka hanya memprasyaratkan
wartawan yang akan masuk ke Gedung Putih tak lain hanya berbekal surat
keterangan dari
kantornya masing-masing. Ini pelajaran sekaligus
penghinaan buat wartawan
Indonesia. (*)
dikutip dari indoskripsi.
Sumber
0 komentar:
Posting Komentar